Tulungagung, iNewsTulungagung.id - Ratusan petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Tulungagung menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kesehatan. Aksi penolakan itu dilakukan dengan menandatangani spanduk penolakan.
Para petani bergejolak dan resah terhadap pasal-pasal pertembakauan atas Pelaksana UU Kesehatan No.17 Tahun 2023 (RPP Kesehatan).
Salah satu petani tembakau yang juga sekaligus Bendahara Asosiasi Petani Tembakau (APTI) Tulungagung, Hendrik Cahyono mengungkapkan pasal-pasal yang ada seperti Pengamanan Zat Adiktif yang ada di dalam RPP Kesehatan memberikan tekanan dan ketidakpastian bagi para petani tembakau sebagai elemen hulu di ekosistem pertembakauan.
"Karena dengan pola tanam tanaman lain belum tentu cocok untuk musim kemarau. Pemerintah istilahnya harus mengkaji ulang dan memberikan solusi. Supaya tanaman apa yang bisa menandingi atau sepadan dengan tanaman tembakau," ujarnya, Kamis (30/11/2023).
Sejak 2012, ia menjadi petani tembakau ini mengaku mayoritas di wilayahnya sumber penghasilan pendapatan di musim kemarau di sektor tembakau. Sebab, hasil yang didapatkan paling besar dan bisa menghidupi kesejahteraan.
Hendrik mengaku, cukup bersyukur untuk harga tembakau tahun 2023 tembakau sangat luar biasa mahal. Mulai kisaran 80 ribu terendah sampai 140 ribu. Dan memiliki ciri khas dan karakteristik tersendiri jika ditanam di musim kemarau.
"Istilahnya kalau dihapus atau alih lahan tanaman lain, apakah ada yang cocok," keluhnya.
Dirinya menambahkan jika tahun ini harga mahal, untuk tahun berikutnya akan sangat menggiurkan bagi petani. Sehingga area luas lahan akan ada kemungkinan bertambah.
Hendrik mengaku, rata-rata dalam menanam dengan luas 1 hektare bisa bisa memperoleh 2,7 hingga 2 ton. Dengan analisa usaha bisa mendapatkan panenan senilai Rp 70 juta di harga normal.
"Bisa dihitung sendiri kalau harganya sampai 130 itu keuntungannya lebih. Hasil 1,7 sampai 2 ton itu rajangan kering tanpa gula kalau gula lebih lagi," ujarnya.
Editor : Mohammad Ali Ridlo