Tulungagung, iNewsTulungagung.id - Sidang putusan kasus pembunuhan pasangan suami istri (Pasutri) di Desa/Kecamatan Ngantru dengan terdakwa Edi Purwanto (43) berakhir ricuh.
Keluarga korban tidak terima bahwa Majelis Hakim memutuskan jika terdakwa dikenakan hukuman penjara selama 14 tahun dan menolak dakwaan hukuman mati.
Berdasarkan pantauan, sidang dimulai sekitar pukul 10.55 WIB dengan Hakim Ketua Nanang Zulkarnaen kemudian setelah terdakwa memasuki ruang sidang dan disusul hadirnya majelis hakim pada ruang sidang.
Sedangkan sidang putusan ini selesai sekitar pukul 11.53 WIB setelah terdakwa ditetapkan menerima hukuman penjara selama 14 tahun.
Hasil putusan itu diwarnai kekecewaan dari keluarga korban, hingga aparat kepolisian terpaksa melerai keluarga korban agar tidak mendekati terdakwa.
Pengawalan dari pihak kepolisian dilakukan hingga pihak keluarga korban keluar dari wilayah PN Tulungagung untuk mengantisipasi kerusuhan.
Anak korban pembunuhan pasutri Gustama Albar Almuzaki (28) mengatakan, pihaknya dan keluarga besarnya maupun warga Desa/Kecamatan Ngantru merasa sangat kecewa dengan hasil putusan tersebut, karena hasil putusan sidang yang diberikan Majelis Hakim untuk terdakwa dinilai ringan.
Padahal seharusnya, terdakwa diberikan hukuman mati atau setidaknya hukuman penjara seumur hidup setelah menghilangkan nyawa kedua orang tuanya. Apalagi, pada saat melakukan aksi tersebut, terdakwa terbilang santai yang harusnya hal ini masuk pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
"Bayangkan, hukuman cuma 14 tahun penjara, itu pembunuh atau pencuri? Kami jelas sangat kecewa dengan putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim hari ini," katanya, Rabu (28/2/2024).
Gustama mengaku, pihaknya seolah tidak percaya dengan hasil putusan yang sudah dibacakan tadi yang mana seolah Majelis Hakim berada pada pihak terdakwa. Bahkan, seluruh anggota keluarganya dan warga Desa/Kecamatan Ngantru yang turut hadir juga tidak bisa menerima hasil putusan tersebut.
Hal ini membuat pihak keluarga korban berupaya agar terdakwa tetap diberikan hukuman maksimal berupa hukuman mati atau penjara seumur hidup. Setelah ini, pihaknya akan musyawarah dengan seluruh anggota keluarganya untuk menempuh jalur hukum lain agar terdakwa diberi hukuman yang setimpal.
"Terdakwa harus diberi hukuman mati, dia sudah residivis dan berani menghilangkan nyawa orang lain, hukuman seringan itu tidak bisa diterima," pungkasnya.
Sementara itu, Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri (Kejari) Tulungagung, Amri Rahmanto Sayekti mengatakan, pihaknya menghormati apapun keputusan Majelis Hakim pada kasus ini. Namun pihaknya juga merasa jika hasil putusan persidangan ini tidak adil utamanya bagi pihak korban.
Namun demikian, pihaknya harus mempelajari terlebih dahulu hasil persidangan ini dan apa yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim memberikan putusan seringan itu untuk terdakwa. Kemudian setelahnya, pihaknya baru akan memutuskan apakah akan mengambil langkah banding atau tidak.
"Informasinya, dua dari tiga hakim merasa jika kasus ini tidak mengandung unsur 340 KUHP, sedangkan hanya satu hakim yang setuju dengan pasal itu. Makanya kami pelajari dahulu untuk mengambil pangkah selanjutnya,"ujarnya.
Amri menyebut, hasil putusan sidang ini bukanlah hasil akhir yang mana masih ada berbagai upaya hukum yang bisa diambil oleh kedua belah pihak. Apalagi, saat menggarap kasus ini, kami menilai pemberian hukuman maksimal yakni hukuman mati sudah tepat untuk terdakwa.
Pihaknya tidak bisa dalam posisi mendukung salah satu pihak terutama keluarga korban yang memang pada dasarnya menginginkan hukuman mati. Pihaknya sendiri bekerja secara profesional yang mana memberikan dakwaan itu berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan.
"Jadi bukan kami menuruti kemauan keluarga korban, pertimbangan kami dalam memberikan dakwaan itu berdasarkan fakta di persidangan melalui saksi ahli yang dihadirkan," tukasnya.
Editor : Mohammad Ali Ridlo